Selasa, 18 November 2008

Buah Tangan dari Makkah

Kegembiraan terpancar dari wajah para Hujjaj yang baru kembali dari Makkah. Tampak betapa keberkahan Tanah Haram menjadikan jiwa para peziarahnya lebih tenteram dan bersinar. Keletihan - dari menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, dan juga dalam melaksanakan manasik yang membutuhkan ketekunan dan ketulusan yang besar - telah berlalu, yang tampak hanya kepuasan karena baru saja melaksanakan salah satu rukun, bahkan penyempurna dari rukun-rukun Islam.
Begitu juga halnya dengan para penyambut Bapak Haji/Ibu Hajjah baik ketika proses debarkasi maupun setibanya mereka kembali ke rumah. Upacara penyambutan pun digelar sebagai ekspresi rasa syukur. Tidak dapat dipungkiri, para penyambut mengharapkan oleh-oleh dari Makkah akan dikeluarkan pada saat itu, termasuk kisah tentang pengalaman dan perasaan mereka ketika di Tanah Suci.
Maka, air yang penuh berkah dari sumur Zam-zam pun dihidangkan, juga kurma Madinah serta berbagai jenis buah-buahan khas Timur Tengah. Tak ketinggalan perlengkapan sholat berupa sajadah, peci, butiran tasbih bahkan pakaian turut dibagikan kepada orang-orang tertentu. Keharuan dan kegembiraan meyelimuti suaana pada saat itu.
Air zam-zam dari Tanah suci Makkah, kurma dari Madinah, makanan khas Timur Tengah, perlengkapan sholat dan pakaian dari berbagai penjuru dunia yang dibeli di Tanah haram, juga kisah perjalanan dan pengalaman seseorang selama menunaikan ibadah hajji adalah oleh-oleh yang diterima dengan rasa syukur. Dalam hati masing-masing pengunjung yang belum mampu atau berkesempatan berangkat berhajji tertanam keinginan kuat untuk sampai ke Tanah Suci memenuhi panggilan Allah, seperti Bapak Hajji/ Ibu Hajjah yang mereka sambut.
Keinginan yang kuat untuk berangkat menunaikan ibadah hajji sewajarnya ada dalam hati masing-masing individu muslim, karena panggilan Allah untuk mendatangi “Rumah-Nya” telah tertanam secara fitri bagi mereka, dan telah tertulis kewajiban itu dalam Kitab Suci maupun dalam catatan Sunnah Qawliyah Nabi SAW.
Sebagai penyempurna rukun Islam, sebagaimana rukun Islam lainnya yang memiliki implikasi sosial, begitu juga dengan berangkat Hajji ke Baitul Haram bagi yang mampu. Keberangkatan itu bukanlah sekedar wisata rohani dan bersifat individual belaka, namun membawa suatu missi bagi perubahan sosial. Para Hujjaj adalah duta-duta ummat dalam menyampaikan permasalahan sosial di kawasan tinggal mereka masing-masing.
Di Tanah Haram akan tampak gambaran betapa Islam adalah suatu aturan hidup yang universal. Walaupun dari beragam ras dan bangsa, dari berbagai kelompok, golongan dan satus sosial, semuanya melebur di dalam satu kesatuan. Disana tidak ada perdebatan, tidak ada pertentangan dan ketidaksenonohan.
Miniatur (maket) masyarakat ideal nampak dalam prosesi ibadah hajji. Dan tugas para Hujjaj adalah membangun sebuah peradaban dengan mengambil pola berdasarkan miniatur tersebut. Masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, hubungan sosial yang saling membagikan keselamatan, aktifitas penghidupan yang berorientasi kesucian dan keagungan, rotasi kehidupan yang berporos pada kemuliaan sistem rabbani, semua itu yang akan dibangun di tempat tinggal masing-masing hujjaj yang mereka adalah sebagai pioneernya.
Dari sumur zam-zam, memancar air yang melegakan mereka yang kehausan menempuh perjalanan di tengah gurun tandus. Mereka yang belum sampai ke sana masih dapat menikmati kesegaran dan keberkahan air zam-zam ini, sebagai buah tangan para hujjaj yang kembali.
Tersirat makna dari zam-zam ini adanya sumber air kehidupan yang akan membuat kelegaan bagi yang meneguknya, setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan di pentas kehidupan. Zam-zam adalah gambaran kesatuan konsep dan jiwa Al-Quran, karena Al-Quran adalah mata air yang tak akan kering dan sumber inspirasi dalam menata gerak membangun peradaban agung Madinatul Munawwarah. Air Zam-zam juga berguna sebagai penawar penyakit, begitu juga dengan Al-Quran sebagai obat bagi peradaban yang sakit.
Kebaikan yang didatangkan oleh para Hujjaj melalui tangan mereka adalah buah tangan terbaik yang akan membebaskan kaum lemah dan tertindas. Hajji yang berkualitas mabrur adalah apabila terselenggara proses perbaikan kehidupan sekembalinya ke tempat asal.
Program “memberi makan dan menebarkan salam” bukan sekedar mengadakan kenduri dan menyapa “assalaamu ‘alaikum”. Memberi makan masih dapat dilakukan siapa saja dalam makna menraktir makan dan mengganti “hello” dengan ucapan salam, bahkan orang-orang fasik pun dapat melakukan hal itu.
Memberi makan bermakna lebih luas yaitu dengan menciptakan kesejahteraan bagi ummat, dan menebarkan salam bermakna membangun kehidupan yang interaksi manusia-manusianya saling memberikan keselamatan.
Kesimpulannya, program “Penyejahteraan dan Penyelamatan” adalah oleh-oleh yang dibawanya dari tanah Suci yang akan dibagikannya secara merata ke seantero jangkauannya, sebagai bukti cum laude nya ibadah hajji dan tugas dari gelar “Hajji”nya.
Sebagai bekal perjalanan Hajji, Allah telah memerintahkan untuk mempersiapkan bekal berupa taqwa (QS 2: 197). Dan bekal ini tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah usang. Dan ketaqwaan adalah pakaian yang akan menjaga kita dari dingin maupun teriknya kehidupan yang menggelisahkan. Dengan taqwa sebagai pakaian yang diturunkan Allah kepada kita, kita telah memakai pakaian kebesaran sebagai insan mulia. (Perhatikan QS 7: 26, juga QS 49: 13). Pakaian ketaqwaan inilah yang hendaknya dibagikan oleh para Hujjaj baik sebelum maupun sekembalinya mereka dari Tanah Suci.
Seseorang yang tidak memiliki tidak akan mampu memberi. Agar mereka dapat membagi-bagikan pakaian taqwa ini kepada manusia sekelilingnya, ketaqwaan itu telah menjadi pakaian mereka.
Pakaian taqwa yang merupakan rajutan benang ilmu, dan hasil proses pemintalan iman dan jahitan dari amal shaleh. Maka pakaian taqwa hanya dapat dibagikan kepada orang-orang tertentu yang memang haus akan ilmu, dan telah siap dengan sikap iman (siap dengar dan siap patuh) dan melaksanakan amal shaleh (perbaikan kehidupan masyarakat). Maka membagikan ketaqwaan berarti memberikn pembinaan berupa pencerahan berpikir, pengarahan sikap dan perilaku dan membangun karakter masyarakat agar sesuai dengan tuntutan syariat. Dan sekali lagi, para Hujjaj adalah pioneernya.

- Medan, 20 Januari 2006

Minggu, 28 September 2008

Puisi-puisiku (mengapa mengapi)

Mengapa Mengapi

dada kutegak wajah kuarah tangan kuangkat
takbir kugegar mulut kumatkamiti ayat-ayat
namun
mengapa mengapi?

Dada diinjak
wajah tengadah
tangan menadah si penjarah
gegar takbir memecah turik si tungkik
muncung robek kumatkamiti ayat yang tak dikomit
ucap memelas pada penindas

karena dada kutegak pada adaku
wajah kuarah pada mauku
tangan kuangkat demi agungku
Allah kuucap kuingat aku
ayat kukumatkamiti bela kumatku
kepalaku akuku, dadaku sukaku, tanganku tuk gapai anganku

tentu mengapi.....

Kepala kutunduk pinggang kutekuk
tasbih terucap getaran lidah antuki gigi
tapi, mengapa mengapi?
Kepala diinjak, pinggang dikebat beban ditungang binatang
kuucap Allah tasbihi tiran meng-allah
muncung tak ucap kalam melainkan mamam

karena kutaruh kepala serata perut
rongga dada serata pantat
senar hati digetar puki
lubang mulut ucap carut kukata tasbih padahal kentut
pinggang kutekuk kukata rukuk padahal bungkuk pada si beruk

pastilah mengapi.....

kepala kusungkur mencium tanah
muncungku tasbih memuji Allah kecipak lidah dengan ludah
mata memerah basah
dada buncah
hati pasrah.....
kalau ya, mengapa mengapi?
karena tanah di kening yang membenak
lubang burit itulah puncak
di hati kontol yang mengontrol
Tasbih dimulut padahal carut
bagi saudara yang aku hasud
mata memerah basah dek marah menanah
dada membuncah resah maui darah
hati pasrahi diri meng-Allah

ya, pasti mengapi.

dada kutegak wajah kuarah
bibir tasyahud
shalawat dan salam akhiri kalam
kalau memang begitu, mengapa mengapi?

dada kutegakdengan dayaku
wajah kuarah pada diriku
tasyahud jiwaku : akulah Allah ucapkulah sunnah
ditanganku neraka dan jannah
shalawat tertuju bagi diriku
syafaat bagi yang ikut aku
laknat kutukku tuk yang melainiku.
tentu saja mengapi.

-ramadhan 1422 H




Idul Fitri, Titik Awal bagi Perubahan

Bagi orang yang bermata,

fajar telah terbit

- Ali ibn Abi Thalib

( Nahjul Balaghah, Hikmah No. 169).

****

Setelah sebulan kita berada dalam lembaga pembinaan bulan Ramadhan, saat ini kita berada pada starting point langkah menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam lembaga bulan Ramadhan, kita telah melaksanakan ibadah-ibadah dengan ketulusan niat dan keinginan memperoleh kebaikan dariNya semata. .

Di bulan Ramadhan kita membiasakan diri bertadarus alquran. Tadarus alquran artinya memepelajari alquran. Bagi yang belum bisa membaca alquran, tadarus berarti belajar membaca, bagi yang sudah bisa membaca, mereka bertadarus agar bacaan mereka menjadi lebih baik, bagi yang sudah baik bacaannya, mereka mempelajari makna dan mencoba menghayati kandungannya, dan selanjutnya mereka yang sudah memahami kandungannya, mereka mempelajari bagaimana cara menerapkannya dalam kehidupan.

Di bulan Ramadhan, kaum muslimin juga giat melaksanakan sholat secara berjamaah baik sholat fardhu maupun sholat nafilah. Dengan semaraknya pelaksanaan sholat berjamaah, nampak bagi kita bahwa kaum muslimin ternyata berwibawa dan kuat bila ada kebersamaan sesuai dengan pernyataan Allah “Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersama dengannya, mereka itu tegas terhadap orang-orang kafir dan saling berkasih sayang diantara mereka, Nampak mereka itu dalam keadaan ruku’ dan sujud, terpancar pada wajah-wajah mereka kesan dari sujud”. (QS Al-Fath: 29)

Walaupun masih ada beberapa kekeliruan dalam mensyiarkan sholat berjamaah yang sebahagian kalangan mengutamakan sholat malam Ramadhan yang merupakan sholat nafilah, padahal seharusnya berjamaah itu lebih ditekankan pada sholat-sholat fardhu. Namun begitupun kita berharap dengan datangnya tanggal satu Syawal, para shaaim memperoleh nilai “idul fitri” sebagai diploma bagi mereka yang berhasil menjalankan ibadah-ibadah pada bulan Ramadhan, sholat-sholat fardhu akan lebih semarak dilaksanakan di masjid-masjid, panggilan azan Hayya ala-sh-sholaah, hayya ‘ala-lfalah dari menara masjid-masjid akan disauti dan ditanggapi dengan baik dengan mendatangi masjid agar sholat dapat ditegakkan dan kemenangan dapat diraih.

Dengan melaksanakan sholat berjamaah di bulan Ramadhan secara rutin, hal itu menjadi sarana pembiasaan bagi kita untuk sholat berjamaah pada bulan-bulan berikutnya. Selanjutnya karena sholat berjamaah sudah terbiasa dilakukan, hal itu akan meningkat menjadi kebutuhan. Kaum muslimin akan merasa butuh melaksanakan sholat secara berjamaah terutama sholat-sholat fardhu.

Begitu juga dengan bersedekah, menjamu atau menyiapkan makanan berbuka puasa untuk orang lain dan juga membayarkan zakat fitrah atau zakat diri pada penghunjung bulan Ramadhan, hal itu juga merupakan latihan bagi kita agar tidak merasa berat hati untuk melepaskan saudara muslim kita dari himpitan kesulitan, menyelamatkan mereka dari keterpurukan, dan membebaskan mereka dari keterjeratan, terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah penghidupan. Di bulan Ramadhan, kita telah dilatih untuk berlapang dada, bahkan melapangkan orang lain walau kita sendiri bisa jadi belum lepas dari kesulitan; agar pada masa-masa mendatang kita tidak lagi merasa keberatan dalam membantu dan menolong saudara-saudara kita, apalagi jika kita berada dalam situasi yang lapang.

Walau tidak sama bagi setiap orang dalam merasakan lapar dan haus di siang hari dengan berpuasa, namun semua sama-sama merasakan lapar dan haus. Dengan berpuasa mereka dilatih untuk menahan diri dalam memenuhi hasrat badaniahnya walau dengan sesautu yang halal. Dan bila tiba saat berbuka, maka kaum muslimin diperbolehkan kembali menikmati rezeki yang dianugerahkan Allah tadi tanpa berlebihan. Dari sini kita dapat mengambil hikmah, bahwa dengan berpuasa, walau pun halal kita masih dilatih untuk menahan diri, yang apabila kita mampu menjalaninya dengan benar, hal-hal yang terlarang untuk dikonsumsi dan tindakan-tindakan yang tercela, Insya Allah akan mampu kita jauhi di luar bulan Ramadhan. Ternyata berpuasa adalah sarana belajar yang efektif dalam hal menaati Allah. Maha benar Allah dengan firmannya : “Wahai orang-orang yang beriman, telah tertulis bagi kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah tertulis bagi orang-orang sebelum kalian, semoga (dengan shiyam tersebut) kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”(QS ALbaqarah ayat 183).

Islam adalah sistem panata kehidupan dari Allah bagi manusia agar manusia hidup dalam keselamatan, kesejahteraan, kesentosaan dan kedamaian. Sebagai satu-satunya sistem penata kehidupan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan, Islam tentu saja memiliki suatu cara pandang dunia yang tidak membelenggu kebebasan berfikir manusia, begitu juga dalam hal sikap dan tindakan yang dipilihnya, semuanya berorientasi pada peningkatan kualitas individu yang berlanjut pada kemajuan masyarakat. Oleh karenanya, segala sistem pembinaan dalam Islam yang disebut dengan Arkaanul Islam, bila benar-benar terlaksana dengan benar dan baik, niscaya terwujud khairu ummah (ummat terbaik) yang memiliki kewibawaan, diperhitungkan dan tampil di tengah-tengah panggung peradaban dunia. “Islam itu teratas dan tidak ada yang mengatasinya” adalah kalimat yang keluar dari lisan suci Rasulullah saw bukanlah sekedar slogan, tapi kalimat itu adalah motifasi bagi kita dalam mewujudkannya.

Allah SWT berfirman : “Dialah (Allah) yang telah mengutus RasulNya dengan pedoman hidup dan sistem penata kehidupan yang hak agar dimenangkannya atas segala sistem kehidupan (yang lain)………….” Kalimat ini menunjukkan bahwa al_Islam sebagai aturan hidup yang hak adalah sistem penata kehidupan yang unggul tiada banding, maka seyogianyalah kaum muslimin di seluruh dunia harus tampil dengan keunggulan Islam.

Hendaknya pribadi-pribadi muslim adalah sebagai pionir dan pemuka dalam segala bidang kehidupan, baik ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta memiliki kewibawaan di mata dunia.

Di bulan Ramadhan kita senantiasa memperbaharui pernyataan iman dalam setiap sholat dan zikir kita. Itulah syahadatain yang merupakan fondasi keyakinan yang kokoh. Hal itu dilakukan agar terbentuk dalam pribadi-pribadi mukmin kesadaran tauhid. Kesadaran tauhid ternyatakan pada karakter pribadi yang memiliki pola fikir yang utuh, keyakinan yang teguh, dan prinsip yang tegas, yang berani berkata “tidak” terhadap segala penyimpangan. Kalimat tauhid “Laa Ilaaha Illa Allah”, diwujudkan oleh kaum mukminin dalam sikap yang tidak berstandar ganda, dan tindakan mereka yang satu orientasi, yaitu mardhatillah (keridhaan Allah) semata. Dengan kesadaran tauhid yang bersih dan murni, akan terjalin ummat yang satu (ummatan waahidah), sebagaimana difirmankan Allah : “Sesungguhnya ummat kalian ini (wahai para rasul) adalah ummat yang satu, dan Aku sebagai Rabb kalian, maka bertaqwalah……” (QS Al-Mukminun ayat 52).

Begitu juga dengan sholat yang dilakukan selama bulan Ramadhan, diantaranya bertujuan agar terbentuk pribadi-pribadi yang disiplin, patuh terhadap pimpinan yang menyuarakan pesan-pesan al-Quran, dan secara intensif mengadakan hubungan spitritual dengan Allah, melanjutkan dan menyampaikan pesan moral sosial Rasulullah saw serta melanjutkan dan menapaktilasi perjuangan Rasulullah saw agar ummat tegak di atas prinsip kebenaran. Di kalangan ummat yang benar inilah akan terjalin hungan emosional yang tidak lagi bersifat primordial, yaitu hubungan silaturrahmi. Hubungan silaturrahmi bukanlah sekedar hubungan basa-basi belaka, namun hubungan itu terjalin dengan ketulusan hati karena masing-masing individu telah menjalankan prinsip kebenaran dalam hubungan sosial budaya antara satu dengan yang lain dalam interaksi sosialnya.

Segala ibadah yang kita lakukan pada bulan Ramadhan adalah bagaikan membangun miniatur yang akan kita jadikan rujukan sikap dan tindakan kita di bulan-bulan yang lain, menuju sikap para hujjaj (orang-orang yang berhaji) yaitu : Itha’aamuth-tha’aam wa ifsus-salaam ; memberi makan kepada orang yang membutuhkan dan menebarkan keselamatan; dan selanjutnya bangunan kehidupan yang damai dan mendamaikan, selamat menyelamatkan , mulai kita langkahkan.

Hari esok adalah hasil dari apa yang kita lakukan pada hari ini, keadaan yang kita alami dan rasakan pada hari ini adalah rangkaian dari sikap dan tindakan kita masa-masa yang lalu. Bila kita menginginkan kegemilangan pada masa depan, mulailah kita siapkan jiwa kita untuk diterangi oleh wahyu. Serahkan tangan kita untuk dibimbing dan dipimpin oleh Sang Pemberi Khabar Gembira Rasulullah saw, arahkan langkah kita mengikuti langkah para Imam Penegak Kebenaran. Insya Allah, negeri keselamatan akan kita raih bersama atas hidayah dan inayah Allah swt.

Sekaranglah waktunya bagi kita untuk memulai perubahan, melangkahkan kaki menuju kejayan.

Minggu, 14 September 2008

Menyahuti Seruan Allah

Dalam Al-Quran dalam banyak tempat termaktub seruan Allah dengan firmanNya : Wahai orang-orang yang beriman,.. Wahai manusia,… Wahai anak adam,..… Wahai jiwa yang tenang,…. dan lain sebagainya.

Seruan Allah ini tentu ditujukan bagi manusia, karena manusia telah dianugerahkannya alat untuk menangkap pesan dan atau menanggap seruan. Seruan Allah bagi manusia ini tidaklah berupa bunyi-bunyian yang getarannya ditangkap oleh gendang telinga, atau berupa tulisan yang bentuk dan jalinan hurupnya hanya bisa dibaca oleh mereka yang dapat melihat dan mampu membaca.

Seruan Allah ini adalah suara yang getarannya menyentuh telinga hati, sehingga disahutinya dengan pernyataan : sami’na (kami mendengar). Pesan Allah adalah cahaya yang menerangi pandangan jiwa sehingga nampak baginya betapa indah ganjaran yang disediakan Allah bagi orang yang menanggapi seruanNya. Mereka yang memiliki ketajaman mata hati dengan penuh kesadaran akan menyatakan wa atha’na (dan kami patuhi) menanggapi seruan Allah dan bersegera melaksanakannya di panggung kehidupan.

Terhadap mereka yang tak mendengar seruan Allah dan tak menanggapi pesan-pesanNya, Allah mencela mereka dengan keras sebagai makhluk yang sama saja bahkan lebih sesat daripada hewan ternak. Dalam surah Al-A’raf ayat 179 disebutkan : “…bagi mereka ada hati namun tiada memahami, pada mereka ada mata namun tiada melihat dan pada mereka ada telinga namun tidak mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Setiap manusia yang memiliki hati nurani pasti memilki naluri beribadah, karena hanya dengan beribadahlah manusia dapat mencapai kesempurnaannya. Hanya saja dalam hal peribadatan ini ada yang tepat dan ada yang salah arah. Diantara manusia ada yang saking bodohnya sampai menyembah berhala yang dipahat dan diukir dan kemudian diberinya nama, lantas meletakkan kepalanya kebawah kaki berhala bisu tersebut. Tapi kalau sekarang ini orang seperti itu sudah jarang didapati. Sekarang ini keberhalaan tersebut mengambil bentuk yang lebih canggih lagi. Berhala-berhala tersebut dipahat dalam angan-angannya dan diukir dengan ambisinya, lantas diberinya nama : kekuasaan, pangkat, jabatan, kekayaan, kemewahan, ketenaran, dlsb. Kemudian diletakkannya berhala-berhala tersebut dalam altar jiwanya dengan penuh cinta, lantas dia melakukan berbagai macam cara yang menyimpang sebagai persembahan kepada sesembahannya.

Untuk mendapat kekuasaan mereka menggadaikan idealisme, untuk meraih kekayaan dan hidup dalam gelimang kemewahan mereka membunuh hati nurani, guna menyandang ketenaran mereka menginjak-injak moralitas dan membuang rasa malu. Upacara penyembahan mereka lakukan dengan bertelanjang: Telanjang dari moralitas. Gerak ibadah mereka adalah dengan melakukan sikut sana sikut sini. Kekhusyukan dalam ibadah mereka artikan dengan hilangnya rasa peduli. Alih-alih kesempurnaan yang mereka raih, malah kehidupan mereka berantakan karena terjadi pertentangan. Alih-alih kebahagiaan yang mereka dapat, malah kecemasan dan ketakutan menggerogoti jiwa mereka akibat permusuhan yang dihasilkan.

Oleh sebab itulah Allah - dengan sifat Rahman dan RahimNya - mengutus para RasulNya untuk membimbing manusia agar tidak salah arah dalam hal peribadatan ini. Para Rasul membenahi pola fikir manusia agar berfikir cerdas dan memilih yang terbaik bagi dirinya (iman) . Para Rasul mengarahkan sikap dan perilaku manusia untuk mentradisikan (mensunnahkan) aktifitas perbaikan dalam hidup dan kehidupan (amal shalih). Para Rasul menuntun manusia untuk mengayunkan langkah bersama memperjuangkan kehidupan yang damai, selamat dan sentosa di tengah-tengah pentas peradaban.

Pribadi-pribadi taqwa adalah nilai sempurna bagi manusia yang beribadah tepat menurut ketentuan Allah dan bimbingan RasulNya. Pribadi tersebut adalah orang yang telah mendengar seruan Allah dalam jiwanya untuk mengabdi kepadaNya semata dan disahutinya. Seruan tersebut didengar dengan telinga jiwanya : Wahai manusia, ibadahilah Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, supaya kalian menjadi orang yang bertaqwa. (Al-Quran Surah Al-Baqarah : ayat 21).

Medan, 19 Agustus 2005

Jumat, 12 September 2008

Sikap Ummat Terhadap Al-Quran

Firman Allah SWT : “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada(pula) yang lebih dulu dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”. ( TQS Fathir (35) : ayat 32).

***

Ummat Islam adalah ummat pilihan Allah. Al-Quran sebagai Kitab Suci bagi ummat Islam bukanlah sebagai Kitab yang diletakkan ke tempat yang tak terjangkau atau tak boleh dibaca kecuali oleh orang-orang tertentu karena kesuciannya. Kesucian Al-Quran tidak sekedar terletak pada otentitasnya melainkan juga karena dengan Al-Quran seseorang mampu membentuk pribadi-pribadi suci dan membangun masyarakat yang suci.

Sebagai ummat pilihan, ummat Islam seharusnya tidak sekedar membanggakan diri, bahkan harus membuktikan keterpilihan itu. Kebanggaan sebagai ummat terbaik hendaknya bukan sekedar sebagai klaim belaka yang tak terbuktikan. Jangan sampai - sebagaimana dikatakan Shabir Akhtar – predikat “agama terbaik dengan penganut terburuk” tetap melekat bagi kita ummat Islam.

Kita bisa lihat kan, sekian persen penduduk dunia yang buta huruf, mayoritas adalah ummat Islam, padahal membaca adalah perintah pertama dalam Al-Quran. Negara kita tercinta Indonesia yang mayoritas penduduknya ummat Islam adalah negara yang tingkat budaya korupsinya menduduki papan atas, begitu juga tingkat kemesumannya, juga kesemrawutannya; padahal Islam sangat menekankan kesucian dan keteraturan. Betapa ironis memang, kita yang merupakan bagian dari ummat pilihan, tidak menyadari keterpilihannya.

Ummat pilihan itu menerima warisan besar yang tak ternilai harganya, yaitu Al-Quran “… Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelapgulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji” (Tarjamah Al-Quran Surah ke 14 ayat 1).

Begitupun, ketika Al-Quran itu diwariskan (diturunkan) kepada kita yang nota bene adalah ummat pilihan, ternyata kita tidak dapat bersikap sama terhadap warisan itu. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT bagi manusia adalah untuk membuat perubahan. Perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Al-Quran yang diterima bukan sekedar untuk menjadi bacaan penghibur suntuk, atau diperdebatkan di seminar-seminar, apalagi menjadi tunggangan seseorang dalam menggapai ambisi politiknya.

Ummat Islam dalam menerima al-Quran terpecah kepada 3 (tiga) kelompok ; yang menganiaya diri sendiri, yang pertengahan, dan yang terdepan dalam berbuat kebajikan.

Orang yang menzalimi dirinya padahal Al-Quran telah diterimanya adalah orang-orang yang menikmati saja kondisi yang di hadapinya. Bagi orang ini ada atau tidak ada Al-Quran baginya sama saja. Dia hanya nrimo terhadap kondisi kehidupan di hadapannya. Kalau kebetulan dia kaya maka dia nikmati saja kekayaannya, kalau kebetulan dia miskin maka dia pasrah saja dengan kemiskinannya. Mereka adalah para penikmat kondisi.

Berbeda dengan orang yang pertengahan, mereka ini adalah orang yang tahu dengan kondisi kehidupan, namun mereka memanfaatkan kondisi untuk keuntungan pribadinya, atau paling banter kelompoknya. Mereka tahu kondisi masyarakat, namun tak ambil peduli. Mereka tahu Al-Quran, namun menungganginya. Mereka hanya mau mendapatkan keuntungan pribadi sesaat tanpa mempertimbangkan kemaslahatan ummat. Mereka adalah para pemanfaat kondisi.

Yang paling baik adalah “Orang Yang Terdepan Dalam Kebajikan”. Mereka adalah para perombak kondisi. Mereka menyadari bahwa kondisi ummat tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan bimbingan rasulNya, maka dia pun berjuang untuk merubahnya. Meraka menyadari ummat berada dalam kekalutan dan kebingungan maka mereka mencerahkan, membimbing dan menghiburnya. Mereka adalah para pioneer perbaikan ummat. Mereka bukan sekedar “orang baik-baik” , tapi mereka adalah “orang yang membuat perbaikan”.

Di antara tiga kelompok ini : para penikmat kondisi, pemanfaat kondisi dan perombak kondisi; dimana posisi kita ? Masing-masing kita punya alasan untuk berada dimana, dan masing-masing kita punya tanggungjawab atas pilihan tersebut.

Medan, 17 Oktober 2005 (13 Ramadhan 1426 H)



NUZUL AL-QURAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Setiap tanggal 17 Ramadhan kita memperingati hari turunnya Al-Quran. Pada paruh kedua bulan Ramadhan di antara bilangan hari ganjil (17, 19, 21, 23, 25, 27 dan 29) diyakini sebagai malam yang mulia yaitu lailatul qadar yang nilainya lebih baik dari seribu bulan.

Memperingati malam turunnya al-Quran adalah hal yang sangat baik dilakukan karena dengan itu diharapkan mampu menumbuhkan kecintaan kita terhadap kitab yang diturunkan oleh Allah ini. Acara-acara yang dilakukan oleh sebahagian kaum muslimin dalam rangka memperingati peristiwa turunnya wahyu mencakup tabligh akbar, musabaqah, diskusi, memberikan bantuan kepada anak yatim, fakir miskin dlsb.

Setiap kali bulan Ramadhan mendatangi pada setiap tahun, kita menyambut dengan gembira. Sebuah perubahan sedang mengampiri dan akan berlangsung. Kalimat Iqra( bacalah !) - sebuah kalimat singkat dan sarat makna dari ayat –ayat al-Quran yang pertama kali diterima Rasulullah SAW, mencanangkan gaung perubahan. Perubahan sosial tidak akan berlangsung tanpa didahului dengan membaca.

Apakah Allah tidak mengetahui bahwa Muhammad SAW adalah orang yang buta huruf ? Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Lantas mengapa perintah membaca diberikan kepada seseorang yang tidak pernah membuka buku maupun menggoreskan pena sebelumnya? Kesempatan ini terlalu sempit untuk menjawabnya.

Namun satu hal yang menjadi pertimbangan bahwa membaca kondisi kehidupan tidak mensyaratkan kemampuan membaca tulisan. Seorang yang hidup dengan kemurnian nurani akan mampu membaca keadaan masyarakat, apakah sudah sesuai antara keadaan yang ada (das sein) dengan keadaan yang seharusnya (das solen). Ketidakmampuan Muhammad SAW membaca tulisan tidaklah mengahalangi beliau dalam membaca keadaan realitas ummat. Bahkan kejelian beliau dalam membaca tak tertandingi oleh seorang cendikiawan yang paling cerdas sekalipun pada masa itu.

Beliau menyadari betul bahwa ummat berada dalam kegelapan selubung kebodohan dan kepicikan. Kerendahan moral merupakan kebanggaan, sebaliknya kebaikan dan kepedulian dianggap sebagai kelemahan. Keculasan dan penghianatan dianggap sebagai kecerdikan, sementara kejujuran dan pembelaan dianggap kebodohan. Kemunafikan dan kepalsuan adalah strategi politik yang legal sementara ketulusan sedikitpun tidak dihargai bahkan dicampakkan. Batapa gamblang terbaca oleh Rasulullah SAW bahwa keadaan masyarakat saat itu dalam keadaan yang kacau tak menentu, sementara di lain pihak, kaum cendikiawan Makkah pada masa itu menutup mata terhadap realitas tersebut.

Wahyu pertama turun menandai dilantiknya beliau sebagai seorang utusan Allah, menjawab kegelisahan intelektual beliau. Pada Al-Quran ada jawaban segala permasalah ummat. Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan juga manusia, tentu Allah pula yang mengatur segalanya. Allah Yang maha Mengetahui, tentu tahu apa dan bagaimana problematika hamba-hambaNya dan memberi jalan keluar baginya.

Pada awalnya Rasulullah a.s membacakan Al-Quran yang diterima beliau melalui JIbril as. kepada para sahabat radhiyaLlahu anhum. Para sahabat r.a kemudian menyalin hafalan tersebut di batu-batu, kulit binatang atau kulit kayu. Tulisan tersebut kemudian dihafalkan dan kemudian tersimpan di dalam hati masing-masing sahabat Rasulullah. Hafalan tersebut tidak menjadi sekedar hafalan, namun menjadi penghias kesadaran mereka. Dari kesadaran tersebut kemudian diturunkan menjadi perkataan, perbuatan dan sikap mereka. Demikianlah, karena masing-masing pribadi telah bersikap dan bertindak Qurani, maka terciptalah masyarakat yang Qurani yaitu masyarakat yang mentradisikan Al-Quran di tengah-tengah kehidupan mereka dengan mengikuti bimbingan Rasulullah SAW.

Sekarang ini al-Quran telah turun kepada kita. Apakah masyarakat Qurani sebagaimana "Madinah Yang Gemilang" pada masa Rasulullah SAW juga telah turun kepada kita ?

Malam Nuzul Al-Quran adalah malam turunnya Al-Quran menjadi nilai-nilai dalam kehidupan. Insan Rabbani akan terbentuk dengan pembinaan pola fikir, sikap dan penataan kehidupan yang Qurani. Itu bila benar-benar Nuzulul Quran sebagai peringatan. Namun bila Peringatan Malam Nuzulul Quran sebagai sekedar upacara belaka, kita telah menurunkan bahkan menjatuhkan nilai Al-Quran sebagaimana diprediksi Rasulullah SAW : “akan datang suatu zaman bagi manusia… tidak tinggal pada al-Quran melainkan tulisan belaka”.

Dewasa ini kita menghadapi krisis yang multi dimensi. Kebijakan dalam menangani permasalahan sosial yang menumpuk malah berekses pada timbulnya tumpukan masalah baru lagi. Hal ini akan terus menjadi lingkaran setan jika yang menangani permasalahan ummat bukanlah orang-orang yang cerdas secara rohani, yang meyakini bahwa dengan Al-Quran akan selesai segala permasalahan ummat. Bila kita mengabaikan al-Quran, kita akan rugi sendiri.

Medan, 17 Oktober 2005 (13 Ramadhan 1426H)