Selasa, 18 November 2008

Buah Tangan dari Makkah

Kegembiraan terpancar dari wajah para Hujjaj yang baru kembali dari Makkah. Tampak betapa keberkahan Tanah Haram menjadikan jiwa para peziarahnya lebih tenteram dan bersinar. Keletihan - dari menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, dan juga dalam melaksanakan manasik yang membutuhkan ketekunan dan ketulusan yang besar - telah berlalu, yang tampak hanya kepuasan karena baru saja melaksanakan salah satu rukun, bahkan penyempurna dari rukun-rukun Islam.
Begitu juga halnya dengan para penyambut Bapak Haji/Ibu Hajjah baik ketika proses debarkasi maupun setibanya mereka kembali ke rumah. Upacara penyambutan pun digelar sebagai ekspresi rasa syukur. Tidak dapat dipungkiri, para penyambut mengharapkan oleh-oleh dari Makkah akan dikeluarkan pada saat itu, termasuk kisah tentang pengalaman dan perasaan mereka ketika di Tanah Suci.
Maka, air yang penuh berkah dari sumur Zam-zam pun dihidangkan, juga kurma Madinah serta berbagai jenis buah-buahan khas Timur Tengah. Tak ketinggalan perlengkapan sholat berupa sajadah, peci, butiran tasbih bahkan pakaian turut dibagikan kepada orang-orang tertentu. Keharuan dan kegembiraan meyelimuti suaana pada saat itu.
Air zam-zam dari Tanah suci Makkah, kurma dari Madinah, makanan khas Timur Tengah, perlengkapan sholat dan pakaian dari berbagai penjuru dunia yang dibeli di Tanah haram, juga kisah perjalanan dan pengalaman seseorang selama menunaikan ibadah hajji adalah oleh-oleh yang diterima dengan rasa syukur. Dalam hati masing-masing pengunjung yang belum mampu atau berkesempatan berangkat berhajji tertanam keinginan kuat untuk sampai ke Tanah Suci memenuhi panggilan Allah, seperti Bapak Hajji/ Ibu Hajjah yang mereka sambut.
Keinginan yang kuat untuk berangkat menunaikan ibadah hajji sewajarnya ada dalam hati masing-masing individu muslim, karena panggilan Allah untuk mendatangi “Rumah-Nya” telah tertanam secara fitri bagi mereka, dan telah tertulis kewajiban itu dalam Kitab Suci maupun dalam catatan Sunnah Qawliyah Nabi SAW.
Sebagai penyempurna rukun Islam, sebagaimana rukun Islam lainnya yang memiliki implikasi sosial, begitu juga dengan berangkat Hajji ke Baitul Haram bagi yang mampu. Keberangkatan itu bukanlah sekedar wisata rohani dan bersifat individual belaka, namun membawa suatu missi bagi perubahan sosial. Para Hujjaj adalah duta-duta ummat dalam menyampaikan permasalahan sosial di kawasan tinggal mereka masing-masing.
Di Tanah Haram akan tampak gambaran betapa Islam adalah suatu aturan hidup yang universal. Walaupun dari beragam ras dan bangsa, dari berbagai kelompok, golongan dan satus sosial, semuanya melebur di dalam satu kesatuan. Disana tidak ada perdebatan, tidak ada pertentangan dan ketidaksenonohan.
Miniatur (maket) masyarakat ideal nampak dalam prosesi ibadah hajji. Dan tugas para Hujjaj adalah membangun sebuah peradaban dengan mengambil pola berdasarkan miniatur tersebut. Masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, hubungan sosial yang saling membagikan keselamatan, aktifitas penghidupan yang berorientasi kesucian dan keagungan, rotasi kehidupan yang berporos pada kemuliaan sistem rabbani, semua itu yang akan dibangun di tempat tinggal masing-masing hujjaj yang mereka adalah sebagai pioneernya.
Dari sumur zam-zam, memancar air yang melegakan mereka yang kehausan menempuh perjalanan di tengah gurun tandus. Mereka yang belum sampai ke sana masih dapat menikmati kesegaran dan keberkahan air zam-zam ini, sebagai buah tangan para hujjaj yang kembali.
Tersirat makna dari zam-zam ini adanya sumber air kehidupan yang akan membuat kelegaan bagi yang meneguknya, setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan di pentas kehidupan. Zam-zam adalah gambaran kesatuan konsep dan jiwa Al-Quran, karena Al-Quran adalah mata air yang tak akan kering dan sumber inspirasi dalam menata gerak membangun peradaban agung Madinatul Munawwarah. Air Zam-zam juga berguna sebagai penawar penyakit, begitu juga dengan Al-Quran sebagai obat bagi peradaban yang sakit.
Kebaikan yang didatangkan oleh para Hujjaj melalui tangan mereka adalah buah tangan terbaik yang akan membebaskan kaum lemah dan tertindas. Hajji yang berkualitas mabrur adalah apabila terselenggara proses perbaikan kehidupan sekembalinya ke tempat asal.
Program “memberi makan dan menebarkan salam” bukan sekedar mengadakan kenduri dan menyapa “assalaamu ‘alaikum”. Memberi makan masih dapat dilakukan siapa saja dalam makna menraktir makan dan mengganti “hello” dengan ucapan salam, bahkan orang-orang fasik pun dapat melakukan hal itu.
Memberi makan bermakna lebih luas yaitu dengan menciptakan kesejahteraan bagi ummat, dan menebarkan salam bermakna membangun kehidupan yang interaksi manusia-manusianya saling memberikan keselamatan.
Kesimpulannya, program “Penyejahteraan dan Penyelamatan” adalah oleh-oleh yang dibawanya dari tanah Suci yang akan dibagikannya secara merata ke seantero jangkauannya, sebagai bukti cum laude nya ibadah hajji dan tugas dari gelar “Hajji”nya.
Sebagai bekal perjalanan Hajji, Allah telah memerintahkan untuk mempersiapkan bekal berupa taqwa (QS 2: 197). Dan bekal ini tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah usang. Dan ketaqwaan adalah pakaian yang akan menjaga kita dari dingin maupun teriknya kehidupan yang menggelisahkan. Dengan taqwa sebagai pakaian yang diturunkan Allah kepada kita, kita telah memakai pakaian kebesaran sebagai insan mulia. (Perhatikan QS 7: 26, juga QS 49: 13). Pakaian ketaqwaan inilah yang hendaknya dibagikan oleh para Hujjaj baik sebelum maupun sekembalinya mereka dari Tanah Suci.
Seseorang yang tidak memiliki tidak akan mampu memberi. Agar mereka dapat membagi-bagikan pakaian taqwa ini kepada manusia sekelilingnya, ketaqwaan itu telah menjadi pakaian mereka.
Pakaian taqwa yang merupakan rajutan benang ilmu, dan hasil proses pemintalan iman dan jahitan dari amal shaleh. Maka pakaian taqwa hanya dapat dibagikan kepada orang-orang tertentu yang memang haus akan ilmu, dan telah siap dengan sikap iman (siap dengar dan siap patuh) dan melaksanakan amal shaleh (perbaikan kehidupan masyarakat). Maka membagikan ketaqwaan berarti memberikn pembinaan berupa pencerahan berpikir, pengarahan sikap dan perilaku dan membangun karakter masyarakat agar sesuai dengan tuntutan syariat. Dan sekali lagi, para Hujjaj adalah pioneernya.

- Medan, 20 Januari 2006

Tidak ada komentar: