Sabtu, 17 Januari 2009

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan

Dimuat tanggal Jumaah, 4 April 2008 ku Ki Santri

Oleh ASEP AHMAD HIDAYAT

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah

SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana

BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang

SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah

DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka

* Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
* Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
* _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
* Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
* Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
* Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
*
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.

http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/

Syekh Abdul Muhyi pamijahan

Syekh Abdul Muhyi dilahirkan di Mataram tahun 1650 M/1071 H dari seorang Ibu yang bernama Rd. Ajeng Tanganjiah sebagai keturunan dari Sayidina Husen dan ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah keturunan dari raja Galuh. Beliau tiadak lama hidup di Mataram tapi beralih ke Gresik dengan orang tuanya. Beliau selalu mendapatkan pendidikan Islam dari orang tuanya dan ulama-ulama di Ampel/Gresik. Kira-kira berumur 19 tahun Beliau melanjutkan pendidikannya ke Kuala Aceh pada gurunya yang bernama Syekh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun.

Pada waktu berumur 27 tahun Beliau bersama teman-temannya sepesantren dibawa ke Bagdad oleh gurunya untuk menjiarahi makam Syekh Abdul Qadir Jaelani Qaddasallahu Sirrohu. Disana Beliau tinggal selama 2 tahun untuk menerima ijazah Agama Islam. Setelah itu oleh gurunya dibawa ke Mekkah untuk ibadah Haji. Ketika berada di Baitullah tiba-tiba Syekh Abdul Rouf ( gurunya) mendapat ilham bahwa diantara santrinya itu ada yang mendapat pangkat kewalian.

Pada ilham itu dinyatakan bahwa manakala tanda itu telah nampak olehnya, maka ia harus segera menyuruh orang itu pulang dan terus mencari gua di Pulau Jawa bagian barat untuk menetap disana. Gua itu sebenarnya bekas Syekh Abdul Qodir Jaelani menerima ilmu agama Islam dari Gurunya (Imam Sanusi).

Pada waktu suatu saat sekitar waktu Asar Syekh Abdul Muhyi dengan teman-temannya sedang berkumpul di Masjidil Harom tiba-tiba datanglah cahaya yang langsung menuju wajah beliau dan hal itu langsung diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rouf. Gurunya terkejut dan ia ingat akan ilham yang pernah diterimanya.

Setelah kejadian tsb sang guru segera membawa pulang Syekh Abd. Muhyi ke Kuala tahun 1677 M yang kemudian disuruh pulang ke Gresik dan ditugaskan untuk mencari gua dan menetap di sana.

Sebelum melaksanakan perintah gurunya Beliau nikah dengan seorang istri yang bernama Ayu Bakta. Setelah menikah berangkatlah bersama istrinya meninggalkan Gresik menuju ke arah barat dan sampailah beliau di daerah yang bernama Darma Kuningan. Di sana beliau disuruh penduduk untuk memberi pendidikan Islam. Setelah disana menetap selama 7 tahun beliau melanjutkan tugas gurunya yaitu mencari gua. Beliau mengarahkan langkahnya ke Jawa Barat kemudian belok ke sebelah selatan, maka sampailah beliau di Pameungpeuk (Garut Selatan). Di sana beliau sempat bermukim selama 1 tahun sambil menyebarkan Agama Islam.

Setelah itu beliau menuju suatu tempat yang bernama Batuwangi. Disana tidak bermukim terlalu lama karena tugas utamanya belum terlaksana. Kemudian beliau menuju Lebaksiuh. Selama 4 tahun di Lebaksiuh beliau mengajak orang-orang yang beragama Hindu untuk memeluk agama Islam.

Disamping beliau menyebarkan agama Islam dan memupuk kader sebagai pelanjut perjuangan, beliau tidak lupa juga mencari gua yang ditunjukkan gurunya dengan cara bertani. Namun bertani beliau berbeda dengan bertaninya masyarakat disana yaitu menanam padi hanya untuk mencari dimana adanya gua. Karena itu beliau mengharapkan dari hasil panennya itu tetap sebagaimana banyaknya benih asalnya( bila menanam satu tangkai hasilnya satu tangkai lagi). Tetapi berkali-kali beliau tidak berhasil. Lalu beliau mengarahkan langkahnya ke sebelah timur. Dari atas gunung Kampung Cilumbu beliau melihat sebuah pemandangan yang sangat indah. Akhrinya beliau tertarik dan turun ke lembah itu untuk melhat indahnya pemandangan dan disana beliau mencoba menanam padi.

Bila senja tiba beliau kembali pulang ke Lebaksiuh yangjaraknya sekitar kl 6 km. Karena di tempat itu benar-benar membawa rasa tenang dan tentram maka beliau namakan tempat itu Gunung Mujarod.

Pada suatu hari sedang asyik bertafakur kepada Allah tiba-tiba beliau menoleh ke arah padi yang beliau tanam. Ternyata padi yang ditanamnya menghasilkan biji sebanyak biji yang ditanam asalnya. Kemudian ketika beliau berjalan sedikit ke sebelah timur, dari tempat itu beliau mendengar terjunnya air dan kicauan burung kecil keluar dari dalam lubang besar. Maka turunkah beliau ke arah suara itu berada. Ternyata sebuah gua yang ciri-cirinya persis seperti yang ditunjukkan gurunya. Mendadak seketika beliau menengadahkan tangannya untuk bersyukur kepada Allah. Beliau berjuang mencari gua tersebut selama 12 tahun. Sedang usi beliau pada waktu menemukan gua tsb genap 40 tahun.

Setelah gua ditemukan maka beliau bermukim disana beserta keluarga dan para pengikutnya. Di sana beliau mendidik santri-santrinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga mereka benar-benar sudah menjadi muslim yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama Islam. Disamping itu beliau selalu suluk menempuh keridoan Allah dengan jalan Tareqat , yaitu Tareqat Satariah dan Nabawiah.

Setelah berpuluh-puluh tahun beliau berjuang merintis agama Islam yang diawali dengan mendidik santri-santrinya sebagai kader perjuangan. Berkat kesabaran ketabahan dan ketawakalannya akhirnya agama Islam menyebar khususnya ke daerah Priangan selatan, lalu masuk ke daerah Sukapura juga ke daerah Ciamis bekas kerajaan Galuh. Juga tercium sampai ke Bandung , Cirebon, Surabaya dan Mataram bahwa di Jawa Barat Selatan ada penyebar agama Islam yang tinggi ilmunya.

Pada suatu hari datang utuasan dari Mataram membawa surat dari Sultan Adipati Ngalanga untuk beliau. Isi suratnya menyatakan Sultan tertarik dengan kealiman dan kebijaksanaannya dalam cara mengembangkan agama Islam, karena itu ia dipanggil untuk mengajar para putranya dengan menjanjikan akan memerdekakan daerah Pamijahan.

Pada waktu kekuasaan Belanda mulai merambah Tasikmalaya selatan tercium juga oleh Belanda bahwa ada seorang ulama besar penguasa daerah. Lalu Belanda mengirimkan utusannya supaya beliau dan masyarakatnya tunduk dibawah pemerintahan kolonial Belanda dengan mewajibkan membayar pajak tiap tahun. Namun meskipun daerahnya sudah dikuasai Belanda tetapi beliau menolak tidak memberikan pajak dengan alasan karena daerah tersebut daerah yang telah dimerdekakan oleh kesultanan mataram dan Belanda bukan orang Islam sehingga memberikan pajak/sumbangan kepada mereka haram hukumnya.

Pada waktu usia 80 tahun tepatnya pada tanggal 8 Jumadil Awal tahun 1151 H/1730 M beliau wafat. Hingga sekarang makamnya banyak dijiarahi orang dari berbagai dpeloksok tanah air. Selanjutnya pemeliharaan makam dilakukan oleh putra keturunan beliau sampai sekarang.

Asal-usul Gua Pamijahan

Gua pamijahan adalah bekas Syekh Abd. Qadir jaelani menerima ilmu agama Islam dari gurunya Imam Sanusi 200 tahun sebelum Syekh Abd. Muhyi.

Gua Pamijahan terletak di sebuah kaki bukit yang bernama Gunung Mujarod (tempat penenangan)

http://www.geocities.com/tasikmal/pamijahan.htm

Selasa, 18 November 2008

Buah Tangan dari Makkah

Kegembiraan terpancar dari wajah para Hujjaj yang baru kembali dari Makkah. Tampak betapa keberkahan Tanah Haram menjadikan jiwa para peziarahnya lebih tenteram dan bersinar. Keletihan - dari menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, dan juga dalam melaksanakan manasik yang membutuhkan ketekunan dan ketulusan yang besar - telah berlalu, yang tampak hanya kepuasan karena baru saja melaksanakan salah satu rukun, bahkan penyempurna dari rukun-rukun Islam.
Begitu juga halnya dengan para penyambut Bapak Haji/Ibu Hajjah baik ketika proses debarkasi maupun setibanya mereka kembali ke rumah. Upacara penyambutan pun digelar sebagai ekspresi rasa syukur. Tidak dapat dipungkiri, para penyambut mengharapkan oleh-oleh dari Makkah akan dikeluarkan pada saat itu, termasuk kisah tentang pengalaman dan perasaan mereka ketika di Tanah Suci.
Maka, air yang penuh berkah dari sumur Zam-zam pun dihidangkan, juga kurma Madinah serta berbagai jenis buah-buahan khas Timur Tengah. Tak ketinggalan perlengkapan sholat berupa sajadah, peci, butiran tasbih bahkan pakaian turut dibagikan kepada orang-orang tertentu. Keharuan dan kegembiraan meyelimuti suaana pada saat itu.
Air zam-zam dari Tanah suci Makkah, kurma dari Madinah, makanan khas Timur Tengah, perlengkapan sholat dan pakaian dari berbagai penjuru dunia yang dibeli di Tanah haram, juga kisah perjalanan dan pengalaman seseorang selama menunaikan ibadah hajji adalah oleh-oleh yang diterima dengan rasa syukur. Dalam hati masing-masing pengunjung yang belum mampu atau berkesempatan berangkat berhajji tertanam keinginan kuat untuk sampai ke Tanah Suci memenuhi panggilan Allah, seperti Bapak Hajji/ Ibu Hajjah yang mereka sambut.
Keinginan yang kuat untuk berangkat menunaikan ibadah hajji sewajarnya ada dalam hati masing-masing individu muslim, karena panggilan Allah untuk mendatangi “Rumah-Nya” telah tertanam secara fitri bagi mereka, dan telah tertulis kewajiban itu dalam Kitab Suci maupun dalam catatan Sunnah Qawliyah Nabi SAW.
Sebagai penyempurna rukun Islam, sebagaimana rukun Islam lainnya yang memiliki implikasi sosial, begitu juga dengan berangkat Hajji ke Baitul Haram bagi yang mampu. Keberangkatan itu bukanlah sekedar wisata rohani dan bersifat individual belaka, namun membawa suatu missi bagi perubahan sosial. Para Hujjaj adalah duta-duta ummat dalam menyampaikan permasalahan sosial di kawasan tinggal mereka masing-masing.
Di Tanah Haram akan tampak gambaran betapa Islam adalah suatu aturan hidup yang universal. Walaupun dari beragam ras dan bangsa, dari berbagai kelompok, golongan dan satus sosial, semuanya melebur di dalam satu kesatuan. Disana tidak ada perdebatan, tidak ada pertentangan dan ketidaksenonohan.
Miniatur (maket) masyarakat ideal nampak dalam prosesi ibadah hajji. Dan tugas para Hujjaj adalah membangun sebuah peradaban dengan mengambil pola berdasarkan miniatur tersebut. Masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, hubungan sosial yang saling membagikan keselamatan, aktifitas penghidupan yang berorientasi kesucian dan keagungan, rotasi kehidupan yang berporos pada kemuliaan sistem rabbani, semua itu yang akan dibangun di tempat tinggal masing-masing hujjaj yang mereka adalah sebagai pioneernya.
Dari sumur zam-zam, memancar air yang melegakan mereka yang kehausan menempuh perjalanan di tengah gurun tandus. Mereka yang belum sampai ke sana masih dapat menikmati kesegaran dan keberkahan air zam-zam ini, sebagai buah tangan para hujjaj yang kembali.
Tersirat makna dari zam-zam ini adanya sumber air kehidupan yang akan membuat kelegaan bagi yang meneguknya, setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan di pentas kehidupan. Zam-zam adalah gambaran kesatuan konsep dan jiwa Al-Quran, karena Al-Quran adalah mata air yang tak akan kering dan sumber inspirasi dalam menata gerak membangun peradaban agung Madinatul Munawwarah. Air Zam-zam juga berguna sebagai penawar penyakit, begitu juga dengan Al-Quran sebagai obat bagi peradaban yang sakit.
Kebaikan yang didatangkan oleh para Hujjaj melalui tangan mereka adalah buah tangan terbaik yang akan membebaskan kaum lemah dan tertindas. Hajji yang berkualitas mabrur adalah apabila terselenggara proses perbaikan kehidupan sekembalinya ke tempat asal.
Program “memberi makan dan menebarkan salam” bukan sekedar mengadakan kenduri dan menyapa “assalaamu ‘alaikum”. Memberi makan masih dapat dilakukan siapa saja dalam makna menraktir makan dan mengganti “hello” dengan ucapan salam, bahkan orang-orang fasik pun dapat melakukan hal itu.
Memberi makan bermakna lebih luas yaitu dengan menciptakan kesejahteraan bagi ummat, dan menebarkan salam bermakna membangun kehidupan yang interaksi manusia-manusianya saling memberikan keselamatan.
Kesimpulannya, program “Penyejahteraan dan Penyelamatan” adalah oleh-oleh yang dibawanya dari tanah Suci yang akan dibagikannya secara merata ke seantero jangkauannya, sebagai bukti cum laude nya ibadah hajji dan tugas dari gelar “Hajji”nya.
Sebagai bekal perjalanan Hajji, Allah telah memerintahkan untuk mempersiapkan bekal berupa taqwa (QS 2: 197). Dan bekal ini tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah usang. Dan ketaqwaan adalah pakaian yang akan menjaga kita dari dingin maupun teriknya kehidupan yang menggelisahkan. Dengan taqwa sebagai pakaian yang diturunkan Allah kepada kita, kita telah memakai pakaian kebesaran sebagai insan mulia. (Perhatikan QS 7: 26, juga QS 49: 13). Pakaian ketaqwaan inilah yang hendaknya dibagikan oleh para Hujjaj baik sebelum maupun sekembalinya mereka dari Tanah Suci.
Seseorang yang tidak memiliki tidak akan mampu memberi. Agar mereka dapat membagi-bagikan pakaian taqwa ini kepada manusia sekelilingnya, ketaqwaan itu telah menjadi pakaian mereka.
Pakaian taqwa yang merupakan rajutan benang ilmu, dan hasil proses pemintalan iman dan jahitan dari amal shaleh. Maka pakaian taqwa hanya dapat dibagikan kepada orang-orang tertentu yang memang haus akan ilmu, dan telah siap dengan sikap iman (siap dengar dan siap patuh) dan melaksanakan amal shaleh (perbaikan kehidupan masyarakat). Maka membagikan ketaqwaan berarti memberikn pembinaan berupa pencerahan berpikir, pengarahan sikap dan perilaku dan membangun karakter masyarakat agar sesuai dengan tuntutan syariat. Dan sekali lagi, para Hujjaj adalah pioneernya.

- Medan, 20 Januari 2006

Minggu, 28 September 2008

Puisi-puisiku (mengapa mengapi)

Mengapa Mengapi

dada kutegak wajah kuarah tangan kuangkat
takbir kugegar mulut kumatkamiti ayat-ayat
namun
mengapa mengapi?

Dada diinjak
wajah tengadah
tangan menadah si penjarah
gegar takbir memecah turik si tungkik
muncung robek kumatkamiti ayat yang tak dikomit
ucap memelas pada penindas

karena dada kutegak pada adaku
wajah kuarah pada mauku
tangan kuangkat demi agungku
Allah kuucap kuingat aku
ayat kukumatkamiti bela kumatku
kepalaku akuku, dadaku sukaku, tanganku tuk gapai anganku

tentu mengapi.....

Kepala kutunduk pinggang kutekuk
tasbih terucap getaran lidah antuki gigi
tapi, mengapa mengapi?
Kepala diinjak, pinggang dikebat beban ditungang binatang
kuucap Allah tasbihi tiran meng-allah
muncung tak ucap kalam melainkan mamam

karena kutaruh kepala serata perut
rongga dada serata pantat
senar hati digetar puki
lubang mulut ucap carut kukata tasbih padahal kentut
pinggang kutekuk kukata rukuk padahal bungkuk pada si beruk

pastilah mengapi.....

kepala kusungkur mencium tanah
muncungku tasbih memuji Allah kecipak lidah dengan ludah
mata memerah basah
dada buncah
hati pasrah.....
kalau ya, mengapa mengapi?
karena tanah di kening yang membenak
lubang burit itulah puncak
di hati kontol yang mengontrol
Tasbih dimulut padahal carut
bagi saudara yang aku hasud
mata memerah basah dek marah menanah
dada membuncah resah maui darah
hati pasrahi diri meng-Allah

ya, pasti mengapi.

dada kutegak wajah kuarah
bibir tasyahud
shalawat dan salam akhiri kalam
kalau memang begitu, mengapa mengapi?

dada kutegakdengan dayaku
wajah kuarah pada diriku
tasyahud jiwaku : akulah Allah ucapkulah sunnah
ditanganku neraka dan jannah
shalawat tertuju bagi diriku
syafaat bagi yang ikut aku
laknat kutukku tuk yang melainiku.
tentu saja mengapi.

-ramadhan 1422 H




Idul Fitri, Titik Awal bagi Perubahan

Bagi orang yang bermata,

fajar telah terbit

- Ali ibn Abi Thalib

( Nahjul Balaghah, Hikmah No. 169).

****

Setelah sebulan kita berada dalam lembaga pembinaan bulan Ramadhan, saat ini kita berada pada starting point langkah menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam lembaga bulan Ramadhan, kita telah melaksanakan ibadah-ibadah dengan ketulusan niat dan keinginan memperoleh kebaikan dariNya semata. .

Di bulan Ramadhan kita membiasakan diri bertadarus alquran. Tadarus alquran artinya memepelajari alquran. Bagi yang belum bisa membaca alquran, tadarus berarti belajar membaca, bagi yang sudah bisa membaca, mereka bertadarus agar bacaan mereka menjadi lebih baik, bagi yang sudah baik bacaannya, mereka mempelajari makna dan mencoba menghayati kandungannya, dan selanjutnya mereka yang sudah memahami kandungannya, mereka mempelajari bagaimana cara menerapkannya dalam kehidupan.

Di bulan Ramadhan, kaum muslimin juga giat melaksanakan sholat secara berjamaah baik sholat fardhu maupun sholat nafilah. Dengan semaraknya pelaksanaan sholat berjamaah, nampak bagi kita bahwa kaum muslimin ternyata berwibawa dan kuat bila ada kebersamaan sesuai dengan pernyataan Allah “Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersama dengannya, mereka itu tegas terhadap orang-orang kafir dan saling berkasih sayang diantara mereka, Nampak mereka itu dalam keadaan ruku’ dan sujud, terpancar pada wajah-wajah mereka kesan dari sujud”. (QS Al-Fath: 29)

Walaupun masih ada beberapa kekeliruan dalam mensyiarkan sholat berjamaah yang sebahagian kalangan mengutamakan sholat malam Ramadhan yang merupakan sholat nafilah, padahal seharusnya berjamaah itu lebih ditekankan pada sholat-sholat fardhu. Namun begitupun kita berharap dengan datangnya tanggal satu Syawal, para shaaim memperoleh nilai “idul fitri” sebagai diploma bagi mereka yang berhasil menjalankan ibadah-ibadah pada bulan Ramadhan, sholat-sholat fardhu akan lebih semarak dilaksanakan di masjid-masjid, panggilan azan Hayya ala-sh-sholaah, hayya ‘ala-lfalah dari menara masjid-masjid akan disauti dan ditanggapi dengan baik dengan mendatangi masjid agar sholat dapat ditegakkan dan kemenangan dapat diraih.

Dengan melaksanakan sholat berjamaah di bulan Ramadhan secara rutin, hal itu menjadi sarana pembiasaan bagi kita untuk sholat berjamaah pada bulan-bulan berikutnya. Selanjutnya karena sholat berjamaah sudah terbiasa dilakukan, hal itu akan meningkat menjadi kebutuhan. Kaum muslimin akan merasa butuh melaksanakan sholat secara berjamaah terutama sholat-sholat fardhu.

Begitu juga dengan bersedekah, menjamu atau menyiapkan makanan berbuka puasa untuk orang lain dan juga membayarkan zakat fitrah atau zakat diri pada penghunjung bulan Ramadhan, hal itu juga merupakan latihan bagi kita agar tidak merasa berat hati untuk melepaskan saudara muslim kita dari himpitan kesulitan, menyelamatkan mereka dari keterpurukan, dan membebaskan mereka dari keterjeratan, terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah penghidupan. Di bulan Ramadhan, kita telah dilatih untuk berlapang dada, bahkan melapangkan orang lain walau kita sendiri bisa jadi belum lepas dari kesulitan; agar pada masa-masa mendatang kita tidak lagi merasa keberatan dalam membantu dan menolong saudara-saudara kita, apalagi jika kita berada dalam situasi yang lapang.

Walau tidak sama bagi setiap orang dalam merasakan lapar dan haus di siang hari dengan berpuasa, namun semua sama-sama merasakan lapar dan haus. Dengan berpuasa mereka dilatih untuk menahan diri dalam memenuhi hasrat badaniahnya walau dengan sesautu yang halal. Dan bila tiba saat berbuka, maka kaum muslimin diperbolehkan kembali menikmati rezeki yang dianugerahkan Allah tadi tanpa berlebihan. Dari sini kita dapat mengambil hikmah, bahwa dengan berpuasa, walau pun halal kita masih dilatih untuk menahan diri, yang apabila kita mampu menjalaninya dengan benar, hal-hal yang terlarang untuk dikonsumsi dan tindakan-tindakan yang tercela, Insya Allah akan mampu kita jauhi di luar bulan Ramadhan. Ternyata berpuasa adalah sarana belajar yang efektif dalam hal menaati Allah. Maha benar Allah dengan firmannya : “Wahai orang-orang yang beriman, telah tertulis bagi kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah tertulis bagi orang-orang sebelum kalian, semoga (dengan shiyam tersebut) kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”(QS ALbaqarah ayat 183).

Islam adalah sistem panata kehidupan dari Allah bagi manusia agar manusia hidup dalam keselamatan, kesejahteraan, kesentosaan dan kedamaian. Sebagai satu-satunya sistem penata kehidupan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan, Islam tentu saja memiliki suatu cara pandang dunia yang tidak membelenggu kebebasan berfikir manusia, begitu juga dalam hal sikap dan tindakan yang dipilihnya, semuanya berorientasi pada peningkatan kualitas individu yang berlanjut pada kemajuan masyarakat. Oleh karenanya, segala sistem pembinaan dalam Islam yang disebut dengan Arkaanul Islam, bila benar-benar terlaksana dengan benar dan baik, niscaya terwujud khairu ummah (ummat terbaik) yang memiliki kewibawaan, diperhitungkan dan tampil di tengah-tengah panggung peradaban dunia. “Islam itu teratas dan tidak ada yang mengatasinya” adalah kalimat yang keluar dari lisan suci Rasulullah saw bukanlah sekedar slogan, tapi kalimat itu adalah motifasi bagi kita dalam mewujudkannya.

Allah SWT berfirman : “Dialah (Allah) yang telah mengutus RasulNya dengan pedoman hidup dan sistem penata kehidupan yang hak agar dimenangkannya atas segala sistem kehidupan (yang lain)………….” Kalimat ini menunjukkan bahwa al_Islam sebagai aturan hidup yang hak adalah sistem penata kehidupan yang unggul tiada banding, maka seyogianyalah kaum muslimin di seluruh dunia harus tampil dengan keunggulan Islam.

Hendaknya pribadi-pribadi muslim adalah sebagai pionir dan pemuka dalam segala bidang kehidupan, baik ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta memiliki kewibawaan di mata dunia.

Di bulan Ramadhan kita senantiasa memperbaharui pernyataan iman dalam setiap sholat dan zikir kita. Itulah syahadatain yang merupakan fondasi keyakinan yang kokoh. Hal itu dilakukan agar terbentuk dalam pribadi-pribadi mukmin kesadaran tauhid. Kesadaran tauhid ternyatakan pada karakter pribadi yang memiliki pola fikir yang utuh, keyakinan yang teguh, dan prinsip yang tegas, yang berani berkata “tidak” terhadap segala penyimpangan. Kalimat tauhid “Laa Ilaaha Illa Allah”, diwujudkan oleh kaum mukminin dalam sikap yang tidak berstandar ganda, dan tindakan mereka yang satu orientasi, yaitu mardhatillah (keridhaan Allah) semata. Dengan kesadaran tauhid yang bersih dan murni, akan terjalin ummat yang satu (ummatan waahidah), sebagaimana difirmankan Allah : “Sesungguhnya ummat kalian ini (wahai para rasul) adalah ummat yang satu, dan Aku sebagai Rabb kalian, maka bertaqwalah……” (QS Al-Mukminun ayat 52).

Begitu juga dengan sholat yang dilakukan selama bulan Ramadhan, diantaranya bertujuan agar terbentuk pribadi-pribadi yang disiplin, patuh terhadap pimpinan yang menyuarakan pesan-pesan al-Quran, dan secara intensif mengadakan hubungan spitritual dengan Allah, melanjutkan dan menyampaikan pesan moral sosial Rasulullah saw serta melanjutkan dan menapaktilasi perjuangan Rasulullah saw agar ummat tegak di atas prinsip kebenaran. Di kalangan ummat yang benar inilah akan terjalin hungan emosional yang tidak lagi bersifat primordial, yaitu hubungan silaturrahmi. Hubungan silaturrahmi bukanlah sekedar hubungan basa-basi belaka, namun hubungan itu terjalin dengan ketulusan hati karena masing-masing individu telah menjalankan prinsip kebenaran dalam hubungan sosial budaya antara satu dengan yang lain dalam interaksi sosialnya.

Segala ibadah yang kita lakukan pada bulan Ramadhan adalah bagaikan membangun miniatur yang akan kita jadikan rujukan sikap dan tindakan kita di bulan-bulan yang lain, menuju sikap para hujjaj (orang-orang yang berhaji) yaitu : Itha’aamuth-tha’aam wa ifsus-salaam ; memberi makan kepada orang yang membutuhkan dan menebarkan keselamatan; dan selanjutnya bangunan kehidupan yang damai dan mendamaikan, selamat menyelamatkan , mulai kita langkahkan.

Hari esok adalah hasil dari apa yang kita lakukan pada hari ini, keadaan yang kita alami dan rasakan pada hari ini adalah rangkaian dari sikap dan tindakan kita masa-masa yang lalu. Bila kita menginginkan kegemilangan pada masa depan, mulailah kita siapkan jiwa kita untuk diterangi oleh wahyu. Serahkan tangan kita untuk dibimbing dan dipimpin oleh Sang Pemberi Khabar Gembira Rasulullah saw, arahkan langkah kita mengikuti langkah para Imam Penegak Kebenaran. Insya Allah, negeri keselamatan akan kita raih bersama atas hidayah dan inayah Allah swt.

Sekaranglah waktunya bagi kita untuk memulai perubahan, melangkahkan kaki menuju kejayan.

Minggu, 14 September 2008

Menyahuti Seruan Allah

Dalam Al-Quran dalam banyak tempat termaktub seruan Allah dengan firmanNya : Wahai orang-orang yang beriman,.. Wahai manusia,… Wahai anak adam,..… Wahai jiwa yang tenang,…. dan lain sebagainya.

Seruan Allah ini tentu ditujukan bagi manusia, karena manusia telah dianugerahkannya alat untuk menangkap pesan dan atau menanggap seruan. Seruan Allah bagi manusia ini tidaklah berupa bunyi-bunyian yang getarannya ditangkap oleh gendang telinga, atau berupa tulisan yang bentuk dan jalinan hurupnya hanya bisa dibaca oleh mereka yang dapat melihat dan mampu membaca.

Seruan Allah ini adalah suara yang getarannya menyentuh telinga hati, sehingga disahutinya dengan pernyataan : sami’na (kami mendengar). Pesan Allah adalah cahaya yang menerangi pandangan jiwa sehingga nampak baginya betapa indah ganjaran yang disediakan Allah bagi orang yang menanggapi seruanNya. Mereka yang memiliki ketajaman mata hati dengan penuh kesadaran akan menyatakan wa atha’na (dan kami patuhi) menanggapi seruan Allah dan bersegera melaksanakannya di panggung kehidupan.

Terhadap mereka yang tak mendengar seruan Allah dan tak menanggapi pesan-pesanNya, Allah mencela mereka dengan keras sebagai makhluk yang sama saja bahkan lebih sesat daripada hewan ternak. Dalam surah Al-A’raf ayat 179 disebutkan : “…bagi mereka ada hati namun tiada memahami, pada mereka ada mata namun tiada melihat dan pada mereka ada telinga namun tidak mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Setiap manusia yang memiliki hati nurani pasti memilki naluri beribadah, karena hanya dengan beribadahlah manusia dapat mencapai kesempurnaannya. Hanya saja dalam hal peribadatan ini ada yang tepat dan ada yang salah arah. Diantara manusia ada yang saking bodohnya sampai menyembah berhala yang dipahat dan diukir dan kemudian diberinya nama, lantas meletakkan kepalanya kebawah kaki berhala bisu tersebut. Tapi kalau sekarang ini orang seperti itu sudah jarang didapati. Sekarang ini keberhalaan tersebut mengambil bentuk yang lebih canggih lagi. Berhala-berhala tersebut dipahat dalam angan-angannya dan diukir dengan ambisinya, lantas diberinya nama : kekuasaan, pangkat, jabatan, kekayaan, kemewahan, ketenaran, dlsb. Kemudian diletakkannya berhala-berhala tersebut dalam altar jiwanya dengan penuh cinta, lantas dia melakukan berbagai macam cara yang menyimpang sebagai persembahan kepada sesembahannya.

Untuk mendapat kekuasaan mereka menggadaikan idealisme, untuk meraih kekayaan dan hidup dalam gelimang kemewahan mereka membunuh hati nurani, guna menyandang ketenaran mereka menginjak-injak moralitas dan membuang rasa malu. Upacara penyembahan mereka lakukan dengan bertelanjang: Telanjang dari moralitas. Gerak ibadah mereka adalah dengan melakukan sikut sana sikut sini. Kekhusyukan dalam ibadah mereka artikan dengan hilangnya rasa peduli. Alih-alih kesempurnaan yang mereka raih, malah kehidupan mereka berantakan karena terjadi pertentangan. Alih-alih kebahagiaan yang mereka dapat, malah kecemasan dan ketakutan menggerogoti jiwa mereka akibat permusuhan yang dihasilkan.

Oleh sebab itulah Allah - dengan sifat Rahman dan RahimNya - mengutus para RasulNya untuk membimbing manusia agar tidak salah arah dalam hal peribadatan ini. Para Rasul membenahi pola fikir manusia agar berfikir cerdas dan memilih yang terbaik bagi dirinya (iman) . Para Rasul mengarahkan sikap dan perilaku manusia untuk mentradisikan (mensunnahkan) aktifitas perbaikan dalam hidup dan kehidupan (amal shalih). Para Rasul menuntun manusia untuk mengayunkan langkah bersama memperjuangkan kehidupan yang damai, selamat dan sentosa di tengah-tengah pentas peradaban.

Pribadi-pribadi taqwa adalah nilai sempurna bagi manusia yang beribadah tepat menurut ketentuan Allah dan bimbingan RasulNya. Pribadi tersebut adalah orang yang telah mendengar seruan Allah dalam jiwanya untuk mengabdi kepadaNya semata dan disahutinya. Seruan tersebut didengar dengan telinga jiwanya : Wahai manusia, ibadahilah Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, supaya kalian menjadi orang yang bertaqwa. (Al-Quran Surah Al-Baqarah : ayat 21).

Medan, 19 Agustus 2005

Jumat, 12 September 2008

Sikap Ummat Terhadap Al-Quran

Firman Allah SWT : “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada(pula) yang lebih dulu dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”. ( TQS Fathir (35) : ayat 32).

***

Ummat Islam adalah ummat pilihan Allah. Al-Quran sebagai Kitab Suci bagi ummat Islam bukanlah sebagai Kitab yang diletakkan ke tempat yang tak terjangkau atau tak boleh dibaca kecuali oleh orang-orang tertentu karena kesuciannya. Kesucian Al-Quran tidak sekedar terletak pada otentitasnya melainkan juga karena dengan Al-Quran seseorang mampu membentuk pribadi-pribadi suci dan membangun masyarakat yang suci.

Sebagai ummat pilihan, ummat Islam seharusnya tidak sekedar membanggakan diri, bahkan harus membuktikan keterpilihan itu. Kebanggaan sebagai ummat terbaik hendaknya bukan sekedar sebagai klaim belaka yang tak terbuktikan. Jangan sampai - sebagaimana dikatakan Shabir Akhtar – predikat “agama terbaik dengan penganut terburuk” tetap melekat bagi kita ummat Islam.

Kita bisa lihat kan, sekian persen penduduk dunia yang buta huruf, mayoritas adalah ummat Islam, padahal membaca adalah perintah pertama dalam Al-Quran. Negara kita tercinta Indonesia yang mayoritas penduduknya ummat Islam adalah negara yang tingkat budaya korupsinya menduduki papan atas, begitu juga tingkat kemesumannya, juga kesemrawutannya; padahal Islam sangat menekankan kesucian dan keteraturan. Betapa ironis memang, kita yang merupakan bagian dari ummat pilihan, tidak menyadari keterpilihannya.

Ummat pilihan itu menerima warisan besar yang tak ternilai harganya, yaitu Al-Quran “… Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelapgulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji” (Tarjamah Al-Quran Surah ke 14 ayat 1).

Begitupun, ketika Al-Quran itu diwariskan (diturunkan) kepada kita yang nota bene adalah ummat pilihan, ternyata kita tidak dapat bersikap sama terhadap warisan itu. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT bagi manusia adalah untuk membuat perubahan. Perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Al-Quran yang diterima bukan sekedar untuk menjadi bacaan penghibur suntuk, atau diperdebatkan di seminar-seminar, apalagi menjadi tunggangan seseorang dalam menggapai ambisi politiknya.

Ummat Islam dalam menerima al-Quran terpecah kepada 3 (tiga) kelompok ; yang menganiaya diri sendiri, yang pertengahan, dan yang terdepan dalam berbuat kebajikan.

Orang yang menzalimi dirinya padahal Al-Quran telah diterimanya adalah orang-orang yang menikmati saja kondisi yang di hadapinya. Bagi orang ini ada atau tidak ada Al-Quran baginya sama saja. Dia hanya nrimo terhadap kondisi kehidupan di hadapannya. Kalau kebetulan dia kaya maka dia nikmati saja kekayaannya, kalau kebetulan dia miskin maka dia pasrah saja dengan kemiskinannya. Mereka adalah para penikmat kondisi.

Berbeda dengan orang yang pertengahan, mereka ini adalah orang yang tahu dengan kondisi kehidupan, namun mereka memanfaatkan kondisi untuk keuntungan pribadinya, atau paling banter kelompoknya. Mereka tahu kondisi masyarakat, namun tak ambil peduli. Mereka tahu Al-Quran, namun menungganginya. Mereka hanya mau mendapatkan keuntungan pribadi sesaat tanpa mempertimbangkan kemaslahatan ummat. Mereka adalah para pemanfaat kondisi.

Yang paling baik adalah “Orang Yang Terdepan Dalam Kebajikan”. Mereka adalah para perombak kondisi. Mereka menyadari bahwa kondisi ummat tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan bimbingan rasulNya, maka dia pun berjuang untuk merubahnya. Meraka menyadari ummat berada dalam kekalutan dan kebingungan maka mereka mencerahkan, membimbing dan menghiburnya. Mereka adalah para pioneer perbaikan ummat. Mereka bukan sekedar “orang baik-baik” , tapi mereka adalah “orang yang membuat perbaikan”.

Di antara tiga kelompok ini : para penikmat kondisi, pemanfaat kondisi dan perombak kondisi; dimana posisi kita ? Masing-masing kita punya alasan untuk berada dimana, dan masing-masing kita punya tanggungjawab atas pilihan tersebut.

Medan, 17 Oktober 2005 (13 Ramadhan 1426 H)