Jumat, 12 September 2008

Sikap Ummat Terhadap Al-Quran

Firman Allah SWT : “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada(pula) yang lebih dulu dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”. ( TQS Fathir (35) : ayat 32).

***

Ummat Islam adalah ummat pilihan Allah. Al-Quran sebagai Kitab Suci bagi ummat Islam bukanlah sebagai Kitab yang diletakkan ke tempat yang tak terjangkau atau tak boleh dibaca kecuali oleh orang-orang tertentu karena kesuciannya. Kesucian Al-Quran tidak sekedar terletak pada otentitasnya melainkan juga karena dengan Al-Quran seseorang mampu membentuk pribadi-pribadi suci dan membangun masyarakat yang suci.

Sebagai ummat pilihan, ummat Islam seharusnya tidak sekedar membanggakan diri, bahkan harus membuktikan keterpilihan itu. Kebanggaan sebagai ummat terbaik hendaknya bukan sekedar sebagai klaim belaka yang tak terbuktikan. Jangan sampai - sebagaimana dikatakan Shabir Akhtar – predikat “agama terbaik dengan penganut terburuk” tetap melekat bagi kita ummat Islam.

Kita bisa lihat kan, sekian persen penduduk dunia yang buta huruf, mayoritas adalah ummat Islam, padahal membaca adalah perintah pertama dalam Al-Quran. Negara kita tercinta Indonesia yang mayoritas penduduknya ummat Islam adalah negara yang tingkat budaya korupsinya menduduki papan atas, begitu juga tingkat kemesumannya, juga kesemrawutannya; padahal Islam sangat menekankan kesucian dan keteraturan. Betapa ironis memang, kita yang merupakan bagian dari ummat pilihan, tidak menyadari keterpilihannya.

Ummat pilihan itu menerima warisan besar yang tak ternilai harganya, yaitu Al-Quran “… Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelapgulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji” (Tarjamah Al-Quran Surah ke 14 ayat 1).

Begitupun, ketika Al-Quran itu diwariskan (diturunkan) kepada kita yang nota bene adalah ummat pilihan, ternyata kita tidak dapat bersikap sama terhadap warisan itu. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT bagi manusia adalah untuk membuat perubahan. Perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Al-Quran yang diterima bukan sekedar untuk menjadi bacaan penghibur suntuk, atau diperdebatkan di seminar-seminar, apalagi menjadi tunggangan seseorang dalam menggapai ambisi politiknya.

Ummat Islam dalam menerima al-Quran terpecah kepada 3 (tiga) kelompok ; yang menganiaya diri sendiri, yang pertengahan, dan yang terdepan dalam berbuat kebajikan.

Orang yang menzalimi dirinya padahal Al-Quran telah diterimanya adalah orang-orang yang menikmati saja kondisi yang di hadapinya. Bagi orang ini ada atau tidak ada Al-Quran baginya sama saja. Dia hanya nrimo terhadap kondisi kehidupan di hadapannya. Kalau kebetulan dia kaya maka dia nikmati saja kekayaannya, kalau kebetulan dia miskin maka dia pasrah saja dengan kemiskinannya. Mereka adalah para penikmat kondisi.

Berbeda dengan orang yang pertengahan, mereka ini adalah orang yang tahu dengan kondisi kehidupan, namun mereka memanfaatkan kondisi untuk keuntungan pribadinya, atau paling banter kelompoknya. Mereka tahu kondisi masyarakat, namun tak ambil peduli. Mereka tahu Al-Quran, namun menungganginya. Mereka hanya mau mendapatkan keuntungan pribadi sesaat tanpa mempertimbangkan kemaslahatan ummat. Mereka adalah para pemanfaat kondisi.

Yang paling baik adalah “Orang Yang Terdepan Dalam Kebajikan”. Mereka adalah para perombak kondisi. Mereka menyadari bahwa kondisi ummat tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan bimbingan rasulNya, maka dia pun berjuang untuk merubahnya. Meraka menyadari ummat berada dalam kekalutan dan kebingungan maka mereka mencerahkan, membimbing dan menghiburnya. Mereka adalah para pioneer perbaikan ummat. Mereka bukan sekedar “orang baik-baik” , tapi mereka adalah “orang yang membuat perbaikan”.

Di antara tiga kelompok ini : para penikmat kondisi, pemanfaat kondisi dan perombak kondisi; dimana posisi kita ? Masing-masing kita punya alasan untuk berada dimana, dan masing-masing kita punya tanggungjawab atas pilihan tersebut.

Medan, 17 Oktober 2005 (13 Ramadhan 1426 H)



Tidak ada komentar: